Berjarak Pada Media Sosial

(Sumber: unsplash.com)

Tak bisa dipungkiri bahwa pandemi membuat kita merasakan keterbatasan ruang. Tapi, hal positif bertandang pada waktu yang kita miliki. Ya, memiliki waktu yang lebih banyak untuk dihabiskan diri sendiri. 

Salah satu ruang yang sepertinya menjadi pilihan utama untuk tetap bersosialisasi dan mengikuti hal yang disukai adalah media sosial. Sebelum pandemi mengepung kita, media sosial sudah punya tempat sendiri di masyarakat karena efisien, praktis, dan cepat.

Memiliki lebih banyak waktu di rumah bisa jadi menyenangkan. Tapi saking banyaknya waktu luang yang dimiliki daripada sebelumnya, ada beberapa orang yang menjadi bingung ingin melakukan apa. Jadi, berselancar di media sosial selama berjam-jam dijadikan rutinitas yang sebenarnya tidak direncanakan. Hingga sadar kalau waktu berjalan begitu cepat dan kegiatan yang seharusnya dilakukan menjadi dinomorduakan.

Melihat banyak foto, terhibur dengan video yang dibagikan di media sosial, serta guyonan dari beberapa kerabat menjadi teman dikala membuka media sosial. Oh iya, jangan lupakan soal kontribusi besar yang diberikan media sosial selama pandemi. Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa kegiatan belajar-mengajar, bahkan pekerjaan, pada masa pandemi dapat tertolong dengan adanya media sosial. Terkadang rasanya menjadi tidak nyaman ketika tidak membuka media sosial hanya dalam beberapa jam saja.

Efek Samping dari Media Sosial

(Sumber: unsplash.com)

Kenyamanan membuat kita terlena akan sesuatu, sampai-sampai lupa bahwa apa yang kita lakukan memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi baik dan buruk. Dengan kata lain, belum sempat untuk menyaring apa yang dilihat. Beberapa lama setelah memiliki tendensi untuk harus membuka lebih sering media sosial, banyak orang yang merasakan perasaan baru yang tidak diinginkan, mengerikan, hingga cenderung merusak hari-hari yang indah dan berpeluang baik. 

Akhirnya, efek samping itu sampai kepadaku. Jantung rasanya berdegup kencang dalam waktu yang lama. Degupan ini menyebabkan perasaan panik yang tak menentu serta rasa tidak aman yang menyesakkan pikiran.

Pada situasi ini, aku menjadi ‘rajin’ mencari-cari apa yang salah pada diri sendiri dan apa yang kurang. Jika tidak berlebihan, hal ini cukup baik. Kita jadi mampu mengevaluasi diri agar menjadi pribadi yang lebih baik dan bertumbuh. Sayangnya, apa yang aku alami sudah cukup berlebihan, terutama ketika membuka Twitter, Instagram, dan LinkedIn.

Apalagi kalau melihat momen yang dibagikan teman-teman mengenai foto mereka hari ini atau prestasi yang baru-baru ini didapat. Pertanyaan seperti “Kenapa aku tidak cantik seperti dia?” atau “Wah, kok selama ini aku tidak punya prestasi apa-apa?”, selalu mampir. Padahal, di balik kesuksesan mereka, ada hal yang tidak aku ketahui, semisal perjuangan mereka hingga mencapai titik tersebut.

Pusing? Sudah pasti. Membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain itu lelah. Aku juga jadi lebih sensitif. Hingga sampai pada titik yang lebih parah, aku harus mengobrol dengan konselor. Aku utarakan semua kekalutan, kekesalan pada diri sendiri, masalah dari dalam, pokoknya banyak sekali. Tak lupa juga bercerita kalau serangan panik itu datang lagi. 

"Berjarak Dulu, Yuk!"

(Sumber: unsplash.com)

Setelah mengobrol dengan konselor, aku sadar bahwa aku tidak dapat melarang siapa pun untuk membagikan banyak hal di media sosialnya. Kalau aku tidak bisa mengendalikan orang lain, berarti aku yang harus punya kendali untuk diri sendiri. 

Konselor memberikan sebuah tautan video di YouTube mengenai mindfulness dari kanal YouTube Greatmind. Setelah menonton video itu, aku diarahkan kepada video lain dari saluran YouTube tersebut. Tentang puasa media sosial yang dilakukan oleh Marissa Anita dalam segmen "On Marissa's Mind". Untuk yang ingin tahu lebih lanjut, click it, ya!

Namanya manusia, pasti pernah merasa mumet akan sesuatu. Marissa mengutarakan bahwa dirinya pernah berada di posisi yang tak lagi nyaman dengan kehidupan maya. Dampaknya cukup banyak. Kehilangan waktu tidur yang berkualitas, memiliki kecenderungan untuk membuka media sosial terus-menerus, merasa cemas kalau tidak membuka media sosial, dan menganggu sirkulasi hidup sehari-hari. 

Menurutnya, puasa media sosial bukanlah hal yang salah untuk dicoba. Beliau memutuskan untuk menghapus akun Facebook, Instagram, dan tidak menggunakan Twitter dalam waktu yang tidak ditentukan. Tercerahkanlah aku! 

Kalau aku belum puasa media sosial, tapi diet media sosial. Mulailah aku menghapus aplikasi Instagram dan mengingatkan diri ini untuk tidak terlalu sering melihat status WhatsApp dan membuat status terlalu sering demi diri sendiri. 

Saat ini aku masih punya jarak dengan media sosial. Aku membuka akun Instagram melalui browser, dan itu pun dilakukan ketika perlu saja. 

Jujur, awalnya cukup sulit. Tapi, setelahnya? Plong dan tenang! Waktu saya tidak sia-sia lagi karena hanya menatap layar gawai dan tak ada lagi rasa cemas. Hari-hariku lebih ringan. Waktu yang waktu itu terbuang dapat diisi kembali dengan kegiatan yang saya sukai. 

Berjarak pada media sosial bukanlah sebuah tindakan untuk tidak membuka media sosial sama sekali. Aku masih membukanya. Tapi, tetap bagi waktu antara dunia maya dengan nyata. Karena kesehatan mental dan pikiran lebih penting daripada kesenangan sesaat. Jadi, gunakan media sosial dengan bijak dan intensitasnya dapat disesuaikan dengan diri sendiri.

Jika kamu memiliki situasi yang sama, berjarak dari media sosial bisa lho jadi pilihan untuk kamu 😊. Hope your days are always full of happiness!


(Source: pinterest.com)

(Artikel ini telah diperbarui)

Komentar