(Sumber: freepik.com) |
Pakaian merupakan salah satu fondasi terpenting dalam kehidupan. Selain untuk melindungi tubuh dari sengatan panas matahari dan dinginnya hari, pakaian juga merepresentasikan pribadi seperti apakah kita. Ekspresi dan aktualisasi diri pun turut terbantu melalui eksperimen dalam dunia fesyen. Intinya, pakaian sama vitalnya dengan makanan dan rumah. Tentu, dong. Mereka semua sederajat dalam kebutuhan primer.
Over-shopping and Impulsive Buyer
Isla Fisher, pemeran Rebecca Bloomwood, si penggila belanja dalam film Confessions of a Shopaholic. (Sumber: id.pinterest.com) |
Di masa
pandemi COVID-19, perputaran ekonomi pada penjualan baju di
toko yang ada di pusat perbelanjaan memang menurun. Tapi, ketika melihat animo
masyarakat yang tinggi saat ada potongan harga yang luar biasa untuk pakaian
yang dijual secara daring, sepertinya pola konsumerisme masyarakat belum sepenuhnya hilang. Masih banyak keimpulsifan yang membuat mereka akan
membeli sepotong pakaian dengan harga murah, yang kualitasnya belum tentu akan
bertahan lama.
Lalu, memangnya kenapa? Apa ada sebuah
urgensi yang perlu mendapat perhatian dibalik belanja pakaian yang terlalu
sering? Oh, tentu saja ada. Setiap tindakan yang berlebihan dampaknya tidak
hanya kembali ke manusia, tetapi juga kepada alam, lingkungan sekitar, dan makhluk
lain yang juga berhak mendapat kehidupan.
Waktu itu, aku menonton sebuah film dokumenter bertajuk The True Cost yang disutradarai
oleh Andrew Morgan dan Michael Ross sebagai produser. Film yang dirilis pada
tahun 2015 ini menguak seluk-beluk fast
fashion, jenama terkenal yang berkiblat pada konsep fast fashion, hingga dampak yang begitu seram pada penjualan
pakaian murah dan produksi yang tiada hentinya.
Behind the Habit
Jenama fast fashion. (Sumber: teenvogue.com) |
Sungguh, pandanganku seketika berubah dengan jenama yang begitu sering memperbarui koleksi pakaian yang mereka jual. Tindakan manusia ini banyak kesalahan dan tidak memanusiakan manusia pula. Sesaat setelah menonton film tersebut, aku merasa bangga karena menjadi bagian dari sekian banyak orang yang tidak gila akan keinginan belanja pakaian.
Seperti yang
kita tahu, pakaian juga salah satu elemen untuk menentukan kelas sosial.
Contohnya, lihat saja pakaian yang digunakan para aktor untuk memerankan
seorang tokoh dari kelas sosial yang tinggi di sebuah drama atau film. Bisa
juga menilik pakaian yang dikenakan para Crazy
Rich Asian asli saat mereka bertandang ke sebuah perhelatan peragaan busana
di Paris, atau ketika melihat kostum fantastis para tamu di Met Gala. Bermerek, luks, dan gemerlap.
Brand yang mengusung konsep fast fashion itu tokonya cukup banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Kalau di Indonesia, pakaian-pakaian yang dijual di sana memang kebanyakan dibeli oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Semisal jenama itu menyumbangkan pakaian-pakaian yang tidak terjual kepada mereka yang lebih membutuhkan, mungkin orang-orang yang biasa membeli pakaian di sana tidak mau lagi berbelanja pakaian pada merek tersebut. Martabat mereka bisa-bisa berkurang karena pakaian yang mereka kenakan juga dipakai oleh masyarakat kelas sosial menengah ke bawah.
Is Fast Fashion Ruin Our Environment?
Sisa pakaian fast fashion yang menggunung di gurun Atacama, Chile. (Sumber: dailysabah.com) |
Ada hal yang harus kita tahu mengenai pakaian-pakaian yang diproduksi oleh merek dengan konsep fast fashion. Mereka membuang banyak pakaian yang tidak terjual karena pakaian itu harus digantikan dengan model yang baru setiap dua minggu sekali. Mereka harus memenuhi tren yang terus berubah dalam kurun waktu sebentar.
Mengutip situs thegoodtrade.com, kualitas pakaian yang mereka produksi tidak begitu bagus karena
menggunakan material yang kurang bermutu dan murah. Contohnya adalah katun,
bahan alami yang dalam prosesnya menjadi pakaian membutuhkan air dalam jumlah yang
sangat banyak. Bahkan, untuk
membuat satu celana jins saja diperlukan 10 ribu hingga 20 ribu galon air.
Bisa terbayang banyaknya seperti apa? Sepertinya cukup untuk kebutuhan air bagi para masyarakat yang tinggal di daerah yang kering. Budidaya kapas pun menggunakan pestisida dan bahan kimia beracun yang meresap ke dalam bumi dan merusak kualitas serta persediaan air. Nah, dari sini jelas sekali, kalau produk fast fashion itu memang relatif murah, tapi tidak eco-friendly. Sebuah jenama yang tidak akan aku sebutkan di tulisan ini dikabarkan pernah membuang pakaian dalam jumlah yang sangat banyak. Mungkin, pakaian-pakaian itu cukup untuk dipakai ribuan orang di sebuah daerah.
Di negara
asal tempat merek-merek itu berkembang pesat, pakaian itu dijual dengan harga
yang relatif murah, sehingga peminatnya banyak dan para retailer harus memproduksinya dalam volume yang begitu banyak.
Begitu banyak manusia yang menjadi konsumtif dan rela mengantre untuk diskon
besar-besaran yang mereka keluarkan untuk desain baru. Padahal, di balik itu
semua, ada tangan-tangan lelah yang tenaganya dieksploitasi untuk memenuhi
target yang harus dicapai retailer.
Para pekerja garmen. (Sumber: id.pinterest.com) |
Para retailer
bekerja sama dengan pabrik garmen yang berada di negara berkembang, seperti
Bangladesh dan Vietnam. Aku punya salah satu pakaian dari brand fast
fashion yang aku dapatkan di toko thrift, dan benar! Baju itu dibuat
di Kamboja. Mereka membayar para buruh dengan upah yang rendah agar dapat
menghasilkan barang yang murah. Para buruh pun tidak mendapat perlengkapan
kerja yang layak, semisal masker yang berkualitas bagus untuk melindungi mereka
dari serat-serat tekstil yang bahaya bila terhirup.
Bahkan, di Bangladesh, mayoritas pekerja adalah perempuan. Lembur menjadi hal yang biasa bila harus mencapai target dalam waktu yang telah ditentukan. Di film dokumenter The True Cost, diperlihatkan bahwa salah satu pabrik garmen di Dhaka, Bangladesh, dibangun dengan tidak memerhatikan kualitas bahan bangunan dan asal jadi. Akibatnya, puluhan orang tewas karena tertimbun reruntuhan pabrik.
How to Stay Fashionable But Not Harm Our Nature
(Sumber: freepik.com) |
Setelah semakin
mengetahui rendahnya harga pakaian dan konsumerisme yang berdampingan, aku sadar bahwa kontribusi sekecil apapun mampu berdampak pada kehidupan
selanjutnya. Lantas, apa yang harus dilakukan setelah mengetahui hasil akhir
dari gilanya pola berbelanja pakaian secara berlebihan?
Pertama, cara yang paling mudah adalah menerapkan thrifting
ketika ingin berbelanja pakaian. Serius, deh, pakaian di sana sangat banyak dan
kualitasnya juga tidak kalah bagus dengan yang masih dipajang di toko aslinya.
Beberapa kali aku menemukan baju yang masih sangat layak pakai dan tentunya
dengan harga yang miring.
Tapi, perlu
diingat, menurutku thrifting tidak bisa dijadikan landasan agar kamu
terus-terusan berbelanja. Kebanyakan orang akan kalap ketika melihat
pakaian dengan harga yang sangat murah. Dan banyak dari mereka yang menerapkan kalimat
“Terlepas nantinya dipakai atau tidak, yang penting beli saja dulu”. Duh,
jangan sampai, ya. Rasanya sayang sekali bila membeli baju tapi setelah itu
tidak dipakai. Walaupun harganya murah, tetap saja belinya pakai uang. Lagipula, baju akan menumpuk di lemari kamu dan akhirnya terlupakan seiring berjalannya waktu.
Kedua, cuek dan merasa cukup dengan pakaian yang ada.
Ketika kita sudah merasa nyaman dengan gaya berpakaian kita---yang tentunya
masih rapi dan sopan---lanjutkan saja. Prinsip ini sepertinya yang juga
diterapkan oleh para minimalis. Mereka memiliki pakaian yang jumlahnya lebih
sedikit daripada kita dan kehidupan mereka berjalan lancar.
Ketiga, membeli pakaian di merek yang telah menerapkan konsep sustainable fashion. Mungkin ada beberapa orang yang beranggapan jika jenama fesyen yang ramah lingkungan hanya terdapat di luar negeri saja. Nyatanya, sudah ada kok beberapa brand fesyen lokal yang menjamin koleksi pakaiannya sudah sesuai dengan konsep mode berkelanjutan. Fashionable namun tetap berkomitmen untuk menolong lingkungan bisa tetap kita jalankan. Bahkan, nggak hanya brand pakaian, tapi juga ada brand sepatu juga. Kamu bisa klik pranala ini untuk mengulik rekomendasi brand mode lokal yang menggunakan sustainable fashion.
Lagipula,
dengan baju yang cukup, kita jadi tidak memakan waktu yang lama untuk
mencocokkan pakaian. Tidak ada yang salah dengan hanya memakai baju itu-itu
saja selama cukup dan kamu merasa nyaman. Kamu juga dapat membentuk persona diri
dengan gaya berpakaian yang kamu tampilkan, seperti Steve Jobs yang identik dengan
turtleneck hitam dan celana jeans.
Tenang, kita
masih boleh, kok, untuk beli pakaian di toko yang berkiblat pada fast
fashion. Ingat, sesekali saja dan beli ketika diperlukan. Kalau terlalu
sering, dampaknya tidak hanya pada lingkungan dan kehidupan berkelanjutan, tapi
juga ke dompet kita masing-masing tentunya.
(Sumber: id.pinterest.com) |
Komentar
Posting Komentar